MENOLONG ITU MENYENANGKAN
Karya : Retno W
Sumber : UMMI, No. 4/XVI
2004 M / 1425 H
Sabtu siang Rosidah pulang sekolah dengan
kecewa dan sedih. Sepanjang jalan ia diam membisu. Tak
dihiraukannya teman-temannya yang asyik bercanda ria. Langkah anak kelas
5 SD itu gontai, menyusuri tepian jalan menuju rumahnya.
Tadi di sekolah, diumumkan
siapa saja yang masuk pasukan khusus pramuka. Betapa kecewanya, ternyata
ia tidak lolos. Padahal ia sangat menginginkannya. Ia kini hanya anggota
biasa yang tidak mendapat prioritas jika ada kegiatan di luar sekolah.
Padahal ia sudah berusaha keras. Dipelajarinya tali-temali, morse, dan
lain-lain dengan sungguh-sungguh. Tapi rupanya masih gagal. Padahal
Devi, sahabatnya, bisa lolos. Rasanya ia ingin menangis saja.
Apa yang harus dikatakannya pada ibu nanti? Mungkin ibu tidak marah. Tapi ibu pasti
kecewa. Bagaimana tidak, Ibu kan pembina pramuka di SMP tempat Ibu
mengajar. Masak anaknya justru gagal masuk pasukan khusus. Malu
kan?
Teman-temannya sudah jauh
meninggalkannya. Kini ia berjalan sendiri sambil
melamun. Ah, andai saja ia tidak gagal. Ia tentu mewakili
sekolahnya di luar kota. Pasti senang sekali. Ia bisa ikut banyak
kegiatan dan mendapat teman baru dari sekolah-sekolah lain.
“Ciiit… brak!” suara keras
menyadarkannya. Tak jauh dari tempatnya berjalan tampak seorang anak
kecil kira-kira berusia 5 tahun jatuh, tertabrak sepeda motor.
Rosidah berlari medekati
mereka. Anak kecil itu menangis. Kakinya lecet dan tangannya
luka. Darah mengalir dari luka itu. Sementara itu, bapak yang
mengendarai motor tampak pingsan di dekat motornya yang roboh. Rosidah
menengok ke sana dan kemari. Sepi. Kanan kiri jalan adalah
persawahan dan tak ada orang yang lewat. Wah, bagaimana ini?
Sejenak Rosidah
kebingungan, tak tahu apa yang harus diperbuat. Aku harus segera menolong
mereka, pikirnya. Dikeluarkannya sapu tangan pramukanya dari tas, lalu
diikatnya pada lengan anak kecil itu. Semoga dapat mengurangi
perdarahannya. Setelah itu diberinya anak itu air minum dari bekal
sekolahnya.
“Tenang ya, Dik. Jangan menangis. Kakak
akan segera mencari pertolongan”, hibur Rosidah. Ia lalu berlari melihat
keadaan bapak yang sedang pingsan.
“Pak… Pak… sadar Pak. Bangun Pak”, Rosidah
mencoba membangunkan bapak itu. Dilihatnya tak banyak luka atau darah,
tapi kok pingsan. Digoyang-goyangkannya bahu bapak itu pelan. Tak
berapa lama bapak itu membuka matanya dan mengerang kesakitan.
“Aduuh… kakiku, aduuh…!” erang bapak itu saat mencoba
untuk bangun. Tampaknya ada yang tak beres. Ketika Rosidah mencoba
menyentuh kakinya, Bapak itu semakin menjerit kesakitan. Oh, mungkin
kakinya patah!
“Bapak diam saja di sini”, kata Rosidah. Ia
segera berlari menuju ke perkampungan. Ia harus segera mencari
pertolongan. Tak dihiraukannya keringat yang membanjiri tubuh mungilnya.
Sesampai di perkampunga, Rosidah menceritakan
kecelakaan itu pada orang ditemuinya. Orang itu segera memanggil warga
lain. Mereka kemudian berbondong-bondong mendatangi tempat kecelakaan itu
dan segera memberikan pertolongan. Korban kecelakaan segera dibawa ke
rumah sakit.
Rosidah bernafas lega. Semoga mereka akan
baik-baik saja. Ia
lalu melangkah ringan meninggalkan tempat itu.
“Assalamualaikum…”
salam Rosidah begitu memasuki rumahnya.
“Waalaikum salam…”
jawab ibu. Rupanya Ibu sudah sampai di rumah lebih dulu. “Kok pulangnya
terlambat. Biasanya Ida datang lebih dulu dari Ibu”, kata Ibu.
“Iya Bu. Tadi ada kecelakaan”, Rosidah lalu
menceritakan tentang kecelakaan itu pada Ibu. Ibu mendengarnya dengan
penuh perhatian.
“”Hmm… Ibu bangga pada Ida. Ida telah berbuat baik, menolong orang lain”.
“Bangga? Ida tidak bisa dibanggakan, Bu.
Karena…” kata-katanya terputus. Rosidah ragu-ragu untuk mengatakannya.
“Karena apa?”
“Ibu jangan marah ya, Ida tidak masuk pasukan khusus
pramuka. Ida gagal dan hanya menjadi anggota biasa”.
Ibu tersenyum dan membelai rambutnya. “Ibu tidak
marah. Menjadi pasukan khusus memang bagus, tapi anggota biasa juga bagus
kok. Yang kamu lakukan tadi
sudah mencerminkan sikap muslim yang baik. Suka menolong siapa saja,
tidak penting apakah itu pasukan khusus pramuka atau tidak. Lagipula anak
yang sudah menolong akan dicintai oleh Allah. Bukankah itu yang paling
penting?”
“Terima kasih, Bu…” Rosidah mencium pipi Ibu.
Ternyata ibu tidak marah dan tidak kecewa. Bahkan Ibu bangga padanya.
“Wah… sapu tangan pramuka milik Ida terbawa anak itu
ke rumah sakit, Bu”.
“Ya sudah. Nanti sore kita beli di kedai
pramuka. Sekarang, ganti bajumu! Cuci kaki dan tangan, terus makan
bersama ibu. Ibu sudah kelaparan menunggumu”.
Rosidah tertawa. Ia segera berlari masu
kamar. Setelah ganti baju dan cuci tangan, Rosidah makan bersama
Ibu. Wajahnya tampak berseri-seri. Hilang sudah kesedihan dan
kekecewaannya. Ia makan dengan lahap. Sayur bayam dan tempe goreng terasa lezat
sekali. Menolong orang lain ternyata menyenangkan dan membuat hati
gembira. Alhamdulillah…
No comments:
Post a Comment